Sudah hampir setahun ini, nggak pernah bikin cerpen lagi. Hmm...kok bisa ya? Padahal tiap hari di depan komputer dan punya waktu cukup banyak untuk sekadar menulis satu dua cerita pendek seperti dulu.
Tapi...entahlah. Sepertinya rasa males berhasil "mematikan" ide-ide membuat tulisan fiksi itu. Untungnya beberapa hari lalu, berhasil juga menyelesaikan satu cerita pendek. Iseng-iseng juga coba kirim ke sebuah tabloid ibukota. Cuma hingga hari ini belum ada kepastian...
Mirah
Namanya Sumirah. Tapi orang-orang yang mengenalnya biasa memanggil dengan sebutan Mirah saja. Umurnya kira-kira 30 tahun. Masih muda seharusnya. Tapi tubuhnya yang kurus dan kering membuatnya ia terlihat lebih tua dari umur sebenarnya. Garis-garis wajahnya juga terlihat menonjol di antara sisa kecantikan yang kian berpendar karena penampilan kumuhnya. Baju compang- camping, rambut pendek kekuningan terbakar matahari dan sepasang sandal berbeda warna dan bentuk. Kian membuatnya lekat dengan sebutan wanita gila.
Aku jelas tidak mengenalnya karena aku hanya melihat wajahnya dari kejauhan tiap angkot yang kutumpangi melintas di perempatan dekat sebuah hotel berbintang empat di kotaku.
Tapi kebiasaannya yang selalu mengendong sebuah boneka kumal sambil mulutnya terlihat komat- kamit, membuatku penasaran dengan Mirah.
Nama itupun aku tahu saat iseng kutanya pada seorang ibu penjual rokok di halte tempat angkotku biasanya menurunkan penumpangnya, termasuk aku. Tak jauh dari tempat Mirah biasanya berdiri mondar-mandir sambil mengayun-ayun boneka kumalnya.
"Dia dulu itu punya anak. Masih kecil sih belum genap setahun. Orang masih merangkak gitu. Tapi anaknya hilang nggak tahu kemana,''kata si ibu penjual rokok saat pertama kali kutanyakan tentang Mirah.
"Kok bisa hilang? Diculik atau bagaimana?''tanyaku masih penasaran.
"Ya nggak tahu, katanya sih waktu itu si Mirah lagi mandi. Suaminya udah pergi ngojek. Tapi pas Mirahnya selesai, anaknya udah nggak ada lagi.''
Aku terdiam sejenak. Sebagai seorang ibu yang juga memiliki putri cilik, aku jelas bisa merasakan kepanikan Mirah waktu itu.
"Katanya udah dicari kemana aja, bu?"tanyaku lagi.
"Udah kemana-mana, seluruh rumah liar di dekat rumah dia itu, sampai ke ujung-ujung sana. Udah lapor ke polisi juga sampai nempel-nempel foto anaknya di pohon-pohon, di halte. Disebar kemana aja, tapi nggak ada hasil,''cetus si ibu sambil tetap menata dagangannya.
Entah apa dia suka dengan caraku yang terus bertanya tentang Mirah atau tidak, aku memang sangat ingin mengetahui kisah perempuan bertubuh ceking di dekat halte itu yang selalu kulihat tiap hari dengan boneka kumalnya.
"Terus suaminya kemana bu? Kok dia jadi seperti itu," selidikku lagi.
"Suaminya udah pergi lah. Katanya udah kawin sama perempuan lain. Habisnya gimana, kalau punya istri stres. Suaminya nyalahin dia juga sih. Dibilangnya dia nggak becus ngurus anak setelah anak mereka itu hilang. Makanya si Mirah tiap hari nangis aja dan jerit-jerit nggak mau ngurus suaminya lagi. Kabur lah dia,''kata si ibu dengan nada agak keras. Kali ini raut wajahnya mulai menunjukkan ketidaksukaannya karena aku terus bertanya tentang Mirah.
Aku tentu saja menyadari keadaan itu. Buru-buru aku berpermisi kepadanya dan melanjutkan perjalananku dengan angkot berikutnya ke arah kantorku.
Cerita tentang Mirah mulai tersusun satu persatu di benakku. Aku mulai sedikit menemukan titik terang mengapa ia menjadi seperti itu. Ia pasti tertekan dan sangat sedih karena kehilangan buah hatinya. Dan ia merasa bahwa dialah yang menjadi penyebab anaknya hilang. Mungkin ia didera perasaan bersalah sepanjang hidupnya dan menganggap ia bukan ibu yang bertanggung jawab. Apalagi ternyata sang suami, yang seharusnya menjadi tempatnya berbagi dan mencurahkan perasaannya, justru menyalahkan dirinya dan bahkan pergi meninggalkan Mirah.
***
Pagi itu langit sedikit mendung. Sejak dua hari lalu aku sudah menyiapkan beberapa bajuku yang sudah lama tak kupakai lagi. Sebagian karena tidak muat lagi di badanku yang kian melar usai aku melahirkan dua tahun lalu. Sebagian lagi karena aku tidak begitu suka dengan modelnya. Baju-baju itu sudah beberapa tahun teronggok begitu saja di sudut lemari pakaian. Dan entah mengapa pikiranku langsung melayang pada Mirah saat aku bersih-bersih lemariku dua hari lalu.
Daripada diberikan kepada pemulung yang sering lewat di depan rumah, mengapa tak kuberikan saja pada Mirah?
"Nanti kalau dia malah ngamuk-ngamuk gimana?"tanya mas Cahya, suamiku, saat kuutarakan keinginanku memberikan baju pantas pakai ini pada Mirah. Aku memang pernah menceritakan perihal Mirah pada mas Cahya.
"Masak sih ngamuk? Aku kan aku mau berbuat baik. Semuanya tergantung caranya, kalau ngasihnya baik-baik, kayaknya dia nggak bakal marah deh,''ujarku memberi alasan.
"Ya terserah sih, tapi jangan teriak-teriak di HP ya kalau nanti dia benar-benar ngamuk dan ngejar- ngejar kamu,''goda mas Cahya sambil tersenyum kala itu.
Dan pagi ini aku sudah bersiap dengan dua buah tas plastik berukuran cukup besar.
Satu kantong berisi beberapa botol susu dalam kemasan dan beberapa jenis makanan kecil seperti roti, biskuit, kacang-kacangan dan cracker.
Satu kantong lagi yang lebih besar ukurannya, berisi baju-baju, celana panjang, beberapa pakaian dalam, sebuah handuk dan tentu saja kain kecil untuk mengganti kain panjang yang dia pakai mengendong boneka kumalnya dan sebuah payung baru yang belum lama kubeli dan belum sempat kugunakan. Ya...aku ingin Mirah memakai payung itu agar ia tak kepanasan atau kehujanan seperti yang sering aku lihat.
Aku juga menyelipkan beberapa helai baju bayi milik anak bungsuku. Entah untuk apa baju itu, tapi aku merasa Mirah akan bahagia melihat baju-baju mungil itu nanti.
Sherin, anak sulungku, sempat curiga dengan bawaan tak biasa yang aku bawa pagi itu.
"Mama mau kemana sih? Mau ada acara ya di kantor? Kok bawa baju adik segala? Itu juga bawa makanan, buat apa sih, Ma?''berondong Sherin saat mengetahui aku akan pergi kerja dengan bawaan yang tidak biasanya
"Nggak ada apa-apa, nak. Mama cuma mau kasih ke orang. Kasihan dia nggak ada baju bagus dan nggak punya makanan,'"jelasku pada Sherin.
"Memangnya orang itu ada di kantor Mama?" tanyanya lagi.
"Kebetulan Mama lewat, jadi sekalian nanti mampir sebelum Mama ke kantor,''sahutku sambil merapikan kerudung pink muda yang kukenakan.
Kulihat anak perempuanku itu hanya manggut-manggut. Tampaknya ia cukup puas dengan jawabanku atas beberapa pertanyaannya.
Meski bersikap santai, sejujurnya jantungku berdegup kencang. Perasaan ingin segera memberikan dua tas itu pada Mirah bercampur dengan perasaan gugup dan khawatir. Bagaimana jika nanti Mirah benar-benar marah dan mengamuk seperti yang dikatakan suamiku? Apa yang harus aku lakukan jika itu terjadi? Berlari sambil membawa tas-tas plastik itu atau meninggalkannya di dekat Mirah sambil mengambil langkah seribu. Entahlah!
Tapi jantungku memang makin berdegup kencang ketika angkot langgananku makin mendekati halte pemberhentian, tak jauh dari Mirah biasa berdiri. Meski sudah kusiapkan hatiku dengan banyak berdzikir di sepanjang jalan, tanganku tetap terasa dingin. Ah...aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Bahkan ketika mas Cahya mengungkapkan si hatinya padaku atau ketika kami menikah sepuluh tahun lalu, aku bahkan tak merasakan degup jantung sekeras ini.
Kulihat Mirah berdiri di dekat halte itu seperti biasanya. Gerimis rintik yang mulai turun membuatnya basah. Seperti biasa dia tetap mengendong boneka kumalnya.
Lamat-lamat kudengar ia melantukan sebuah tembang yang ia dendangkan dengan bibir keringnya.
Tak lelo...lelo...lelo...ledung... cup menenga aja pijer nangis...anakku sing ayu rupane
nek nangis ndak ilang ayune...tak gadang bisa urip mulyo...dadiyo wanito utomo...
ngluhurke asmane wong tua...(*)
Langkahku terhenti beberapa saat. Seolah ada sebuah kekuatan, aku tak lagi merasa gugup. Aku tak lagi merasa takut untuk mendekati Mirah yang masih tetap berdendang sambil mengayun-ayun boneka kumalnya.
Kuulurkan dua tas plastik setelah aku berada cukup dekat dengannya. Sejenak ia terdiam. Ia tak lagi berdendang. Mata menerawang. Tidak memandang aku.
"Ini untuk kamu Mirah, ada baju dan makanan. Semua buat kamu,''kataku sambil meletakkan dua kantong plastik itu.
Mirah masih terdiam. Dia tidak berkata-kata, apalagi mengamuk seperti yang aku bayangkan.
Kulihat beberapa pejalan kaki dan pengemudi yang sempat melintas di dekat perempatan itu menatap aku dengan pandangan penuh tanda tanya. Tapi aku tidak peduli.
Tiba-tiba Mirah duduk berjongkok. Diraihnya dua tas plastik itu. Tangannya mulai membuka satu persatu barang-barang yang ada di dalamnya. Tatapannya beralih kepadaku seakan ingin meminta kepastian lagi apakah aku sungguh-sungguh memberikannya.
"Ya Mirah...semua ini untuk kamu. Kamu suka kan?" tanyaku lagi.
Kali ini Mirah mengangguk. Bahkan seulas senyum terlihat di wajahnya. Aku terharu. Berjanji dalam hati bahwa besok aku akan membawakannya lagi makanan karena ia senang dengan pemberianku.
"Besok saya bawa lagi makanan ya? Tapi semuanya harus kamu habiskan biar kamu sehat,''kataku sambil menatapnya.
Mirah mengangguk. Kali ini dia tersenyum lagi.
"Terima kasih,''ucapnya pelan sebelum aku berlalu.
***
Hujan yang mengguyur kotaku sejak semalam tak menyurutkan langkahku untuk membawa beberapa bungkusan makanan lagi untuk Mirah. Sambil berjinjit dengan ujung celana panjang yang sengaja kugulung, aku sudah bersiap memberi Mirah nasi uduk, beberapa potong roti tawar berisi selai coklat dan sekantong jeruk manis yang aku beli di dekat rumah.
Angkot yang membawaku seolah berjalan terseok-seok menerobos jalanan kota yang mulai tergenang air karena hujan semalaman.
Tak lama lagi aku sampai diperempatan itu dan berharap Mirah ada di sana sambil membawa payung yang kubawakan padanya kemarin. Namun dari kejauhan aku melihat sesosok tubuh mirip Mirah dengan boneka kumal digendongannya berlari menerobos hujan yang makin lebat. Ia berlari makin kencang, menyeberang jalan raya tanpa memperdulikan sebuah truk sampah yang juga melaju kencang di dekat perempatan itu.
"Itu anakku....Gendhis ini ibu nak. Kemari nak. Ibu kangen kamu...Gendhis jangan pergi nduk (*)..Ini ibu...''teriaknya sambil berlari ke arah jalan raya. Ia terus berlari. Aku tak sempat memintanya berhenti. Tapi kakiku seperti terpasung saat kulihat tubuh kurus Mirah melayang dan kemudian terjatuh di atas aspal basah. Truk sampah itu terus melaju setelah ia menabrak Mirah. Membiarkan Mirah mati sendirian dengan iringan tangisku di tengah jalan pagi itu.(*)
Batam, Februari 2008
* Tak lelo...lelo...lelo ledung
diamlah anakku jangan menangis saja
anakku yang berwajah cantik
aku harapkan kelak bisa hidup mulia
jadilah wanita yang mulia
dan membawa nama baik orangtuanya
Lagu dari daerah Jawa yang biasa didendangkan untuk menidurkan anak kecil
*nduk: panggilan sayang untuk anak perempuan
16 February 2008
Akhirnya Bisa Bikin Cerpen Lagi
Posted by Rumah naomi&shaki at 4:38 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment