15 April 2008

Selamat Ulang Tahun, Bunda Nea...


Pagi pada 14 April 1979, bapak tergopoh-gopoh pulang dari rumah sakit. Dikabarkannya berita bahagia bahwa adik kami sudah lahir dengan selamat. Tapi belum bisa dibawa pulang karena ibu kami masih perlu istirahat setelah melahirkan. Seingat kami, bapak cuma membawa sebuah bungkusan yang kami tidak tahu apa isinya. Tapi belakangan, bungkusan yang ditanam di belakang rumah kami itu ternyata ari-ari alias plasenta adik bayi yang baru lahir. Kata orang-orang tua, itu adalah nyawa adik karena selama di perut, adik mendapat makanan melalui plasenta tersebut. Itu sebabnya, bapak manut-manut saja waktu mbah menyuruh ari-ari itu dikubur dan diatasnya diberi sebuah selang kecil.
"Untuk jalan nafas,"kata mbah.
Selang sehari kemudian, adik baru kami pulang bersama ibu. Bapak ternyata sudah menyiapkan nama bagus untuk adik kami. Rini Sasiaprilleana. Rini dalam bahasa Jawa berarti anak perempuan. Sasi april artinya bulan April sedangkan leana diambil bapak dari bahasa Jawa le ono alias adanya. Jadi arti nama yang diberikan Bapak berarti anak perempuan yang ada atau lahir pada bulan April.
Di kemudian hari kami, kakak-kakaknya, memanggil adik bayi kami dengan sebutan NEA.
Hari-hari memang menjadi makin ceria dengan kehadiran tawa dan tangisnya. Nea kecil juga tumbuh seperti anak-anak lain seusianya. Yang kami ingat, tubuhnya terbilang kecil, berkulit gelap dan sudah pasti berambut tipis kemerahan seperti rambut jagung. Istilah di tempat kami: rambut bondis.
Kemanapun kakak-kakaknya bermain, dia pasti nginthil alias ngekor. Kami bermain jumpletan (petak umpet) hingga sembunyi sampai ke sawah-sawah dekat kuburan, dia pun ikut. Ibu juga agaknya seneng-seneng saja Nea kecil main ikut kakak-kakaknya, mungkin biar kerepotan mengurus rumah bisa terbantu kala itu.
Banyak peristiwa yang pasti tidak akan kami lupakan di masa kecil kami dulu. Memiliki teman-teman yang banyak, saudara-saudara sepupu yang tinggal tak berjauhan dan tempat bermain yang menyenangkan di sekitar rumah. Namun kebahagiaan kami harus terenggut.
Minggu, 9 September 1991, seorang pria muda datang tergopoh-gopoh. Memberitahukan dengan terengah-engah bahwa bapak harus segera ke rumah sakit.
"Ibu kecelakaan pak. Jatuh dari sepeda motor,"kata anak muda itu.
Ibu memang pamitan pada bapak mengambil tip-ex yang ketinggalan di laci meja tempat ibu mengajar di sebuah desa terpencil di kecamatan Kertek, Wonosobo.
Tip-ex transparan yang tertinggal itu harus diambil karena ibu perlu membetulkan beberapa nama di atas undangan pernikahan adik bungsunya minggu depan.
Bapak langsung beranjak ke rumah sakit. Meski seribu tanya ada dibenaknya, sedapat mungkin beliau berprasangka baik bahwa ibu tidak mengalami luka yang cukup parah.
Nea kecil ketika itu juga belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ia dan Topan, adik bungsu kami yang kala itu baru berusia 9 tahun, hanya melihat orang-orang menangis tersedu-sedu. Hati kecilnya mungkin bertanya, mengapa orang-orang ini menangis? Apa yang terjadi pada ibu kami?
Dan semua tanyanya terjawab ketika menjelang Maghrib, sebuah keranda tertutup kain hijau, perlahan-lahan diusung menuju rumah mbah Putri, orangtua ibu kami. Tangis orang disekelilingnya kian kencang. Malah dilihatnya beberapa buliknya menangis sambil berteriak histeris.
Ia dan Topan kecil yang tidak tahu apa-apa ikut-ikutan menangis. Tapi tangis itu langsung meledak saat keranda dibuka. Di dalamnya, sesosok tubuh yang sangat dikenalnya telah terbujur kaku dalam balutan kain kafan putih. Ibu! Ya..ibu kami memang meninggal dalam kecelakaan itu. Meski tidak ada luka di tubuhnya, tapi benturan yang sangat keras di kepalanya membuat nyawa ibu tak bisa ditolong lagi.
Nea kecil hanya bisa menangis tersedu-sedu. Sendirian. Tanpa tangisan histeris. Barangkali hanya hati kecilnya yang bertanya; Ya Allah...mengapa begitu cepat Kau panggil ibu kami? Mengapa tak Kau beri umur panjang pada ibu sehingga beliau bisa melihat kami tumbuh besar?"
Kenangan manisnya bersama ibu saat diajak beliau mengajar di sekolah yang berada di tempat terpencil itu, jelas tak akan mungkin hilang. Kenangan ketika ibu dengan rela menjahit baju-baju dan sepatu bekas untuk diberikan pada murid-muridnya yang masih nyeker, masih melekat erat. Bahkan sampai kapanpun.
Hari-hari setelah itu, Nea kecil memang tumbuh sebagai gadis cilik yang mungkin kesepian. Hanya bapak dan Topan yang menjadi saksi, ia tumbuh menjadi seorang gadis. Satu persatu, kakak-kakaknya memang harus pergi untuk menuntut ilmu dan menikah. Sungguh, hidup dengan rasa kesepian itu pasti menjadi masa sulit untuk gadis cilik seusianya.
Tapi...kini Nea kecil bukan lagi gadis cilik bertubuh gelap dan berambut bondhis seperti dulu. Dia sekarang adalah seorang anak yang ingin berbakti pada bapak, istri yang setia bagi suaminya dan ibu yang baik bagi anaknya.Semoga!(***)


Selamat ulangtahun, Bunda! We love you!
(Dari Naomi dan Shaki di Batam)

No comments: